Maaf ya kalau lebih dari 2 tahun lamanya aku gak pernah update postingan di blog ini lagi. Bukannya blog ini gak dikembangkan lagi sih, tapi sepertinya rutinitasku tidak mendukung aku untuk bisa berpetualang dan berbagi cerita disini.
Tapi jangan khawatir, aku akan berbagi sebuah cerita yang mungkin tidak menarik dan tidak bisa kalian jadikan referensi juga. Jadi akhir tahun 2020 aku dapat kesempatan untuk cuti selama 1 minggu. Yap, kesempatan itu tidak aku sia-siakan tentunya, dan aku akan gunakan untuk melakukan petualangan yang baru.
Mau Kemana?
Pada awalnya aku mulai mencari referensi kemana aku akan menghabiskan jatah cutiku. Ketika aku scroll timeline Instagram, ternyata aku ketemu iklan dari AirAsia yang mengadakan promo besar-besaran, yaitu Unlimited Pass. Jadi AirAsia memberikan promo kepada big member untuk terbang sepuasnya selama 6 bulan ke rute tertentu di Indonesia cukup sekali bayar, dengan harga Rp.1.500.000. Intinya adalah, setelah bayar nominal tersebut ke akun big member, untuk pemesanan ticket 100% gratis dan hanya dikenakan Tax bandara saja senilai Rp.5.000. Tanpa pikir panjang aku langsung beli ticket tersebut. Kenapa? Karena aku menemukan rute yang sangat menarik, yaitu Lombok.
Sejak kuliah aku selalu bermimpi, suatu saat aku akan ke Pulau Lombok untuk menaklukkan atap Lombok. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk mewujudkan mimpiku.
Perjalanan
Aku memutuskan untuk terbang ke Pulau Lombok tanggal 16 Desember 2020, karena ya memang aku baru boleh cuti tanggal segitu. Tapi H-1 sebelum keberangkatan aku masih kerja dan load kerjaan itu padet banget sumpah. Akhirnya ketika jam istirahat aku izin untuk mempersiapkan semua perlengkapan outdoor. Keesokan harinya aku langsung ke CKG untuk terbang menuju LOP. Perjalanan memang butuh waktu 2 jam, namun aku rugi 1 jam karena perbedaan waktu WIB dan WITA.
Sesampainya di Lombok sekitar pukul 16:00 WITA aku keluar dari bandara dan bingung harus kemana, karena sejujurnya aku belum cari tau tentang apapun terkait Lombok. Ya, aku memang terlalu YOLO.
Aku berusaha mencari transportasi online seperti Grab dan Gojek. Tapi.. hey! ini bukan Jakarta. Moda transportasi seperti itu belum ada. Sekitar satu jam lamanya aku browsing terkait transportasi, rute, dan penginapan di Lombok. Karena aku pikir akses kemanapun mudah, ternyata untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya cukup susah.
Beberapa saat kemudian aku dihampiri oleh seorang taxi driver. Namanya Pak Heri, dan dia memang selalu mangkal di Bandara Lombok. Dia bertanya tentang tujuanku, dan aku menjawab dengan enteng “Saya mau ke Gunung Rinjani lewat jalur pendakian sembalun pak, bapak bisa antar saya?”. Sontak beliau terkejut dan mengatakan bahwa untuk kesana membutuhkan waktu sekitar 5 – 6 Jam, dan beliau tidak berani untuk mengantarku karena jalur malam ke arah Sembalun itu gelap dan sepi, serta jalurnya juga cukup curam, beliau juga melanjutkan “Biasanya tarif kesana Rp.600.000, walaupun saya dibayar segitu saya juga gak berani ambil”. Aku coba untuk berdiskusi lebih lanjut hingga akhirnya Pak Heri teringat sesuatu, ternyata dia punya teman di Kota Mataram, sopir Damri tujuan Sembalun. Tapi Damri tersebut mulai berangkat pukul 08:00 WITA dan dalam sehari hanya ada satu kali keberangkatan saja. Akhirnya beliau memberiku jalan keluar terbaik, yaitu dengan melanjutkan perjalanan dari Bandara ke Kota Mataram, kemudian bermalam disana.
Perjalanan dari Bandara menuju Terminal Damri Mataram butuh waktu sekitar 1 Jam, dan aku diturunkan di sebuah hotel yang terlihat angker di dekat terminal Damri. Sebut aja namanya Hotel X. Biaya permalam di hotel ini senilai Rp.150.000 dengan fasilitas yang seadanya. Terlihat hotel ini begitu gelap dan sepi, di dalam kamarnya juga banyak sarang laba-laba, dan airnya terkadang macet. Aku tidak merekomendasikannya, tapi kalau hanya untuk sekedar bermalam bagiku tidak masalah juga.
Keesokan harinya aku memutuskan untuk check out subuh dari Hotel, karena ada suara-suara aneh yang terdengar dari kamar mandi dan membuatku tidak nyaman. Jadi aku memutuskan untuk menunggu di terminal Damri.
Pukul 08:00 WITA sudah tiba, dan sebuah mobil ELF memasuki area keberangkatan. Aku langsung duduk di bagian depan, tapi ketika Damri tersebut sudah berangkat menuju Sembalun aku merasakan keanehan lain. Di mobil itu tidak ada penumpang lain selain aku. Kemudian aku bertanya tentang apa yang aku lihat kepada Sopir Damri tersebut, namanya Pak Edy. Beliau menjawab walaupun hanya ada 1 orang penumpang, atau bahkan tidak ada sama sekali maka Damri tujuan Sembalun itu akan tetap diberangkatkan dengan tarif yang sama, yaitu Rp.50.000/orang. Damri tujuan Sembalun tersebut hanya ada 2 armada yaitu trayek Mataram – Sembalun dan sebaliknya. Armada ini baru beroperasi sejak bulan Oktober 2020 sehingga masih sedikit orang yang tau.
Pak Edy ini termasuk orang yang baik, beliau sempat bertanya “Udah sarapan apa belum?”, dan aku jawab belum. Aku pikir hanya sekedar basa basi, tapi ternyata beliau berhenti di warung untuk membelikanku sarapan, dan itu dia yang bayarin. Selain itu juga beliau memberitahukanku beberapa spot yang bagus disepanjang perjalanan, ketika sudah sampai di spot bagus tersebut beliau menghentikan mobilnya dan menyuruhku turun untuk mengabadikan beberapa momen.
Perjalanan Mataram – Sembalun cukup menarik dan juga melelahkan, karena rutenya ke bagian utara Kota Mataram, kemudian lanjut mengitari pesisir barat dan utara Lombok. Jika dari google maps kurang dari 4 jam, ternyata realitanya waktu yang dibutuhkan bisa sampai 5 jam lebih.
Gambar diatas merupakan rute keliling Lombok yang aku lalui.
Sesampainya di Sembalun, aku diturunkan tepat di Resort Sembalun atau bisa dibilang Gate dan Basecamp pendakian Gunung Rinjani. Tak lupa aku juga memberikan tip 5 kali lipat dari tarif normal sebagai tanda terima kasih atas kebaikan Pak Edy. Kemudian Pak Edy juga memberikan kontaknya supaya ketika aku turun gunung bisa segera menghubunginya dan beliau berjanji untuk menjemputku lagi.
Sembalun
Aku bergegas menuju Resort Sembalun, karena jadwal pendakianku esok harinya maka aku harus bermalam di Sembalun. Berhubung Namanya Resort Sembalun jadi aku pikir ini ya penginapan. Tanpa pikir panjang aku langsung masuk aja ke dalam bangunan tersebut, saat itu kondisinya banyak orang yang sedang duduk bersama seperti membahas sesuatu yang penting. Beberapa langkah dari pintu setelah aku masuk ada suara yang menegurku, “Eh mas, mau kemana?”, ya aku pun berkata dengan santai, “mau check in pak”. Seketika orang-orang yang ada disitu terdiam dan hanya saling pandang. Ternyata beliau menjelaskan bahwa tempat itu merupakan kantor dari pengurus TNGR (Taman Nasional Gunung Rinjani). Aku pun merasa malu, tapi berhubung aku pake masker ya jadi gak malu-malu banget sih hehe.
Tapi mereka tidak marah, justru mereka mengutus salah satu pengurus TNGR untuk membantuku mencari tempat penginapan di sekitar situ. Namanya Mas Husni, dia akhirnya membantuku mencari penginapan tepat di belakang Resort Sembalun, penginapan tersebut harganya Rp.300.000/malam. Kamudian dia juga mengajakku ke puskesmas setempat untuk melakukan pemeriksaan kesehatan sebagai syarat pendakian. Biaya yang dikeluarkan untuk pemeriksaan kesehatan ini senilai Rp.20.000.
Setelah semua urusan beres, mas Husni datang ke penginapanku untuk mengajakku berkeliling daerah sekitar. Sejujurnya aku mulai jatuh cinta sama daerah yang disebut Sembalun ini. Tempat ini sangat indah karena berada tepat di kaki gunung Rinjani dan juga dikelilingi perbukitan hijau yang sangat dekat dari jarak pandang. Tapi sayangnya waktu itu cuaca kuarang mendukung karena gerimis tanpa henti sejak sore hingga malam hari. Akhirnya kita memutuskan untuk nongkrong sekaligus makan malam bareng dan bercerita tentang banyak hal. Tak lupa setelah itu mas Husni juga ikut membantuku membeli beberapa logistic yang aku butuhkan saat pendakian. Lagi-lagi aku ketemu dengan orang baik yang membuatku semakin yakin bahwa solo traveling itu bikin nagih.
Oya, ketika di penginapan aku juga gak bisa tidur karena sepanjang malam aku mendengarkan suara gaib tepat dari kamar di sebelahku. You knowlah what I mean yakan. Memang suhu di Sembalun itu dingin banget, tapi ya seenggaknya kalo olahraga malem gausah ngeluarin suara gaib juga. Itu dindingnya dari papan, bukan beton boy.
Petualangan
Keesokan paginya aku mulai packing, memisahkan mana yang harus dibawa untuk mendaki dan mana yang harus aku titipkan. Misalnya laptop, walaupun katanya aku cuti tapi ya yang namanya anak IT kemana-mana harus bawa laptop.
Ketika daftar kehadiran di gate pendakian, pengurus TNGR bertanya apakah aku sudah pernah mendaki sebelumnya dan mana tim pendakianku. Tapi aku jawab aja aku belum pernah mendaki dan aku juga asal tunjuk gerombolan orang yang ingin mendaki juga, untuk berpura-pura menjadi bagian dari tim mereka, walaupun aku juga tidak tau siapa mereka. Akhirnya tiket pendakianku sudah keluar dan aku memulai pendakian dengan Naik Ojek, hehe.
Jadi disana itu ada Ojek yang mengantarkan kita sampai ke Pos 1 atau Pos 2. Berhubung aku udah kesiangan, waktu itu sekitar jam 8, maka alangkah baiknya naik ojek aja deh biar cepat, tapi aku naiknya hanya ke Pos 1 dengan ongkos Rp.150.000. Setelah itu aku melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Cukup melelahkan, tapi dengan motivasi yok semangat yok akhirnya aku sampai di Pos 2.
Pos 2 ini merupakan Pos yang paling komplit, disitu ada basecamp, gubuk-gubukan, serta toilet yang tidak bisa dimanfaatkan karena pintunya jebol dan tidak ada airnya.
Waktu menunjukkan pukul 10:00 WITA di Pos 2, dengan ketinggian sekitar 1500 mdpl. Setelah merasa cukup istirahat akhirnya aku mulai melanjutkan perjalanan lagi dengan membawa kembali semua peralatanku seberat 14.7kg.
Dalam perjalanan dari Pos 2 menuju Pos 3 aku melihat keindahan yang luar biasa. Berhubung Rinjani ini termasuk vegetasi terbuka maka sejauh mata memandang kita bisa melihat savana yang terbentang luas bagaikan permadani berwarna hijau kekuningan. Rasanya itu kayak pengen tiduran, guling-gulingan, merosot dari atas ke bawah, wih seru banget. Tapi ya itu Cuma imajinasi doang, kalo beneran dilakukan yang ada bisa masuk jurang.
Selain itu perjalanan ke Pos 3 ini juga aku melihat seseorang yang sedang beristirahat, aku melihatnya seorang diri tanpa ada yang menemani. Jadi langsung aja aku samperin dan aku ajak kenalan. Ternyata dia ini juga solo trekking dari Malang, Jawa Timur. Entah kenapa juga ceritanya dia bisa lolos di gate pendakian, padahal dia seorang diri dan baru pertama kali juga mendaki Gunung Rinjani. Namanya Yuzza, langsung aja aku ajak dia untuk mendaki bareng dan dia menerima tawaranku itu. Akhirnya sekarang aku punya teman mendaki.
Sepanjang perjalanan kami saling menunggu, ketika dia lelah aku menunggunya beristirahat, begitupun sebaliknya. Hingga sekitar pukul 14:00 WITA kami sampai di Pos 3. Disini kami hanya sekedar beristirahat sejenak, karena tidak ada yang istimewa disini, hanya ada sebuah gubuk tempat persinggahan. Berhubung langit mulai mendung dan rintik air hujan mulai turun kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan ke Pos 4. Kami juga sudah mengenakan jas hujan agar tidak terlalu repot jika langitnya semakin bocor.
Pada perjalanan ke Pos 4 ini, trek yang dilalui cukup curam, dan beberapa kali juga kami sempat salah jalur. Kami melalui jalur yang seharusnya tidak dilalui karena jalur tersebut bekas longsor, untungnya ada pendaki lain yang berteriak dari atas dan menuntun kami ke jalur yang benar.
Sekitar pukul 18:00 WITA kami sampai di Pos 4, pos terakhir dari jalur pendakian Sembalun di Gunung Rinjani dengan ketinggian 2084 Mdpl. Langit sudah mulai gelap dan aku beristirahat sejenak karena aku merasa energiku sudah terkuras habis. Sejak siang aku belum ada makan apapun, karena persediaan yang aku bawa semuanya serba instan tapi harus dimasak terlebih dahulu. Mungkin di Pos 4 ini waktunya aku mengisi perutku. Ketika aku mempersiapkan peralatan untuk merebus Mie Instan, Mas Yuzza menawarkanku nasi bungkus yang sudah dia beli dengan porsi yang lebih. Aku terima pemberiannya karena memang aku harus lebih menghemat persediaan makanan dan juga air.
Setelah aku selesai makan, kami bertemu dengan 3 orang lelaki dari Bali, aku lupa namanya, tapi sebut saja mereka Trio Bli. Mereka mengajak kami mendaki Bersama dan ikut bergabung dengan tim mereka. Tanpa pikir panjang kami langsung terima tawarannya dan melanjutkan kembali perjalanan menuju dataran untuk membangun tenda, yang bisa disebut dengan Pelawangan Sembalun. Tapi sebelum sampai ke tempat itu, kita harus terlebih dahulu melewati tempat angker, menyeramkan, dan melelahkan, yang biasa disebut Bukti Penyesalan.
Di Bukit Penyesalan ini vegetasinya termasuk tertutup. Pepohonan yang besar dengan akar yang panjang membuat tanah di sepanjang bukit ini tidak rata. Bayangkan aja dengan kemiringan sekitar 60° dan tekstur tanah yang bergelombang kita diharuskan untuk menanjak. Belum lagi banyak gap tanah yang harus dilompati sekitar 0,5 – 1 meter. Sekalian bayangkan juga, aku bawa tas carrier dan bodypack dengan total beban 14,7kg. Kebayang gak capeknya gimana?
Itulah yang membuatku sering beristirahat di Bukit Penyesalan ini. Baru beberapa langkah yang ditempuh aku langsung istirahat. Begitu terus hingga sekitar pukul 20:00 WITA. Sampai pada saat istirahat yang terakhir aku ditinggal oleh Yuzza dan si Trio Bli. Mereka sudah jauh meninggalkanku diatas sana, sedangkan posisi aku masih jauh di bawah dan dalam keadaan terduduk setengah berbaring. Disini aku benar-benar kehabisan tenaga. Aku cuma bisa liat remang cahaya Bulan yang menembus hutan di bukit penyesalan, ya aku sama sekali gak bawa headlamp ataupun pencahayaan lainnya. Memang harus ku akui persiapan aku belum cukup matang pada saat itu. Sekarang aku paham kenapa namanya bukit penyesalan, karena disitu kita menjadi dilema antara mau lanjut naik atau turun.
Disini juga ada kejadian yang membuat aku heran, antara medis atau mistis. Ketika aku benar-benar sendirian dan tak ada seorangpun yang terlihat tiba-tiba hutan yang gelap gulita itu berubah jadi cahaya putih yang terang. Beberapa kali aku membuka dan menutup mata tapi yang kulihat hanya cahaya putih. Tidak ada satu objekpun yang terlihat, semuanya putih. Bahkan seluruh anggota tubuhku gak ada yang bisa digerakkan. Seperti lumpuh, aku cuma bisa mendengar dan mengedipkan mata. Ketika aku coba untuk berteriak tapi gak ada sedikitpun suara yang dikeluarkan. Aneh, aku gak tau ini transisi masuk ke dunia lain atau aku cuma pingsan. Tapi serius, seumur hidup aku gak pernah merasakan yang namanya pingsan dan juga kerasukan makhluk lain. Jadi ini benar-benar pertama kalinya aku merasakan hal seaneh ini.
Pada saat itu aku cuma bisa pasrah, hingga pada akhirnya aku mendengar suara kaki turun dari atas. Dan tak lama kemudian orang tersebut menepuk pundakku beberapa kali dan berteriak minta tolong, ya aku tau persis suara itu. Mas Yuzza ternyata tidak benar-benar meninggalkanku, cuma si Trio Bli ya gak taulah kemana itu. Selain itu aku juga mendengar suara kaki yang cukup banyak dari bawah menuju ke arahku. Tak lama kemudian ketika kondisiku sudah pulih, aku melihat 6 orang di hadapanku. Yang satu mas Yuzza, sisanya ternyata pendaki lain yaitu orang asli Senggigi, Lombok.
Mereka berusaha memulihkan kondisiku dengan cara memberikan minyak yang bisa menghangatkan, minuman, dan juga mengurangi isi tas carrierku dengan mengeluarkan barang yang berat untuk dibagikan kepada yang lainnya. Saat kandisiku sudah pulih dan siap melanjutkan perjalanan lagi, mereka membentuk formasi 4 – aku – 2 . Tujuan formasi ini adalah 4 orang di dapanku sebagai leader, sedangkan 2 orang di belakangku tugasnya memberikan pencahayaan dan juga berteriak agar leader menghentikan timnya untuk bergerak ketika aku ingin beristirahat. Memang disini aku terlihat seperti beban untuk tim mereka, padahal sebenarnya ya memang benar juga sih. Aku merasa bersalah, sekaligus merasa senang juga karena aku bisa bertemu dengan orang-orang sebaik mereka.
Langkah demi langkah kita lalui bersama hingga sekitar pukul 23:00 WITA akhirnya kita sampai di Pelawangan Sembalun, dataran yang paling dinantikan untuk mendirikan tenda.
Pada saat itu aku mulai membereskan semua perlengkapan, namun aku melihat 5 orang Senggigi tersebut hanya duduk di bibir jurang dan sesekali mengarahkan senternya kearah bawah. Ketika aku bertanya ternyata mereka sedang menunggu anggota yang lain sebanyak 7 orang karena perlengkapan tenda dan makanan ada di mereka. Mungkin mereka tertinggal cukup jauh atau bahkan mereka memutuskan camping di Pos 4. Gak tau juga kabar mereka karena alat komunikasi tidak bekerja disini.
Tanpa pikir panjang aku menawarkan tendaku, kebetulan tendaku ini kapasitas 4 orang dan bisa juga untuk 5 orang. Jadi ya aku memberikan tenda dan semua persediaan makananku ke mereka sebagai tanda terima kasih. Sedangkan aku bagaimana? Pastinya numpang di tenda Mas Yuzza yang baik hati itu. hehe
Simbiosis mutualisme bekerja disini.
Setelah kami makan malam, kami memutuskan untuk melakukan Summit attack jam 2 pagi. Tapi ternyata karena semuanya lelah, kami baru terbangun jam 6 pagi. Matahari saat itu mulai terbit, dingin mulai berganti kehangatan, gelap kini berganti terang. Terlihat panorama Danau Segara Anak dari Palawangan Sembalun. Seketika rasa lelah hilang, cukup puas rasanya ketika melihat keindahan surga di atap Lombok. Tak lama kemudian kami langsung bergegas dan membawa persediaan secukupnya untuk summit attack ini tanpa sarapan. Tapi mas Yuzza tidak bisa ikut bersama kami, karena kondisinya memang tidak fit jadi dia memilih untuk beristirahat di tenda.
Seperti sebelumnya, lagi-lagi aku menjadi beban buat tim ini. Pergerakanku cukup lambat karena trek yang dialui terlalu miring dan berpasir. Ya maklum juga sih, ini pertama kalinya aku mendaki lagi setelah 3 tahun tidak mendaki. Jadi ya memang udah gak selincah dulu.
Summit Attack ini memang cukup melelahkan, gambarannya seperti ini. Kamu melangkah naik 2 kali, tapi turun 1 kali. Ya, trek ini memang boros energi. Setelah melewati trek berpasir ini, kita akan sampai di bibir kawah Gunung Rinjani. Treknya tidak terlalu menanjak, hanya butuh mengitari bibir kawah untuk sampai ke Puncaknya, tapi gak semudah itu. Dari kejauhan terlihat bahwa untuk sampai ke puncak, kita harus mengitari bibir kawah dan harus menanjak lagi di trek yang kemiringannya terlihat jauh lebih parah dari trek yang sudah dilalui sebelumnya.
Waktu menunjukkan sekitar pukul 11:00 WITA, saat itu posisi kita berada di trek letter E. Butuh waktu 4 jam lagi untuk sampai ke puncak. Saat itu aku merasa udah gak kuat lagi. Teriknya matahari, kurangnya minum, dan perut yang belum terisi menjadi alasan terkuat aku memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ini. Terlebih kaki yang sudah kram juga bisa menjadi penghambat yang fatal untuk tim ini.
Akhirnya aku putuskan dan aku katakan pada mereka kalo aku gak bisa melanjutkan perjalanan ini lagi. Aku akan berteduh di balik bebatuan atau pohon terdekat untuk menunggu mereka turun lagi dari puncak. Tapi ternyata salah satu dari mereka mengatakan, “Yaudah kita turun aja bareng-bareng, satu gak muncak semuanya gak muncak juga. Kita satu tim”. Aku yang mendengar perkataan itu sontak terharu tapi aku memaksa mereka untuk melanjutkan Summit Attack karena ini sudah lebih dari ½ perjalanan. Untuk itu kita putuskan siapa yang akan melanjutkan perjalanan dan siapa yang tidak melanjutkan. Ternyata ada 2 orang yang memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan bersamaku. Di letter E inilah kita akhirnya berpisah, 3 orang melanjutkan Summit Attack dan 3 orang lagi memutuskan untuk turun kembali ke Pelawangan Sembalun.
Sekitar pukul 14:00 WITA kami sampai di tempat camp. Kami langsung masak untuk mengisi perut yang sejak pagi kosong. Tak lama setelah itu hujan deras tiba, langit yang tadinya cerah kini mulai gelap dan berkabut. Ketika menjelang malam 3 orang yang melanjutkan Summit Attack tadi sudah kembali lagi ke tenda. Mereka dalam keadaan menggigil karena diterjang badai ketika di Puncak.
Saat malam semakin larut, mas Yuzza berpamitan kepadaku untuk melakukan Summit Attack sendirian, di tenda miliknya kami berpisah. Dia memulai pendakian pukul 01:00 WITA, sedangkan 5 orang Senggigi ini juga berpamitan untuk turun gunung lebih awal yaitu pukul 04:00 WITA. Setelah berpamitan aku melanjutkan istirahat.
Keesokan paginya aku mulai mengemas barang-barangku untuk dibawa turun gunung. Saat itu aku sudah kehabisan makanan dan minuman jadi ya mau gak mau harus turun gunung secepatnya.
Sesekali aku merenung, mengingat kembali apa yang sudah aku lalui. Ini semua seakan mimpi karena pada awalnya niatku itu akan menaklukkan Gunung Rinjani sendirian, tanpa bantuan siapapun. Ternyata egoku itu cukup fatal, bisa aja aku menghembuskan nafas terakhir di Rinjani.
Tapi semesta gak tinggal diam, dia mengirimkan orang-orang baik yang menjagaku sepanjang perjalanan. Semua ini benar-benar diluar dugaan.
Ya begitulah, naik gunung bukan hanya tentang angka MDPL, walaupun aku tidak sempat menginjakkan kaki di ketinggian 3.726 MDPL, setidaknya aku mendapat banyak pelajaran berharga yang mungkin kalian juga bisa simpulkan dan ambil hikmahnya.